Kegiatan CLC-DI-YOGYAKARTA

Undangan

Acara Senin Kedua
Senin, 8 November 2021
Pukul 19:00 WIB (7 malam)

Kebiasaan mengkremasi jenazah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian saudara-saudara Tionghoa; yang tetap berlaku hingga saat ini. Namun, perlahan-lahan, saat ini masyarakat luas memandang proses pengabuan jenazah sebagai opsi yang lebih praktis dibandingkan penguburan jenazah.

Makin banyak orang Katolik yang mulai mengenal dan kemudian memilih kremasi guna mengantar kepergian anggota keluarga yang meninggal; baik karena alasan pandemi atau keterbatasan lahan kubur. Namun, kita juga sadar bahwa masih ada keraguan dan beberapa pertanyaan tentang kremasi yang muncul dari keluarga Katolik yang sama sekali belum pernah melakukannya.

Oleh karena itu, kami mengajak Anda untuk memahami Kremasi menurut Gereja Katolik bersama Pater Paul Suparno, S.J. Harapannya kita bisa mendapatkan pemahaman yang benar tentang kremasi dalam pandangan gereja.

Acara ini terbuka untuk seluruh umat Katolik. Kami berterimakasih jika Anda membantu meneruskan undangan ini ke komunitas, lingkungan, kolega, teman, dan keluarga Anda.

CLC di Yogyakarta
Berkah Dalem
AMDG

Undangan

Acara Senin Kedua
Senin, 8 November 2021
Pukul 19:00 WIB (7 malam)
Malam ini

Kami mengajak Anda untuk memahami Kremasi menurut Gereja Katolik bersama Romo Paul Suparno, S.J. Harapannya kita bisa mendapatkan pemahaman yang benar tentang kremasi dalam pandangan gereja. Acara ini terbuka untuk seluruh umat Katolik.

Link Zoom:
https://zoom.us/j/3747649959?pwd=eHdUYXF0V3VEVDlMZjZqV284b3NFQT09

Meeting ID: 374 764 9959
Passcode: CLC

Anda juga bisa melihatnya melalui YouTube:
http://bit.ly/CLC8November

CLC di Yogyakarta
Berkah Dalem
AMDG

Renungan Harian: 26 Oktober 2021

Renungan Harian
Selasa, 26 Oktober 2021

Bacaan I: Rom. 8: 18-25
Injil: Luk. 13: 18-21

Nasi Murah

Setiap hari Rabu, di paroki tempat saya menjalani perutusan mengadakan aksi menjual nasi murah. Nasi bungkus dengan lauk dan sayur yang baik dijual dengan harga Rp. 2000,-. Setiap hari Rabu sejumlah ibu dan beberapa bapak sibuk menyiapkan nasi bungkus. Ada yang menanak nasi, ada yang menyiapkan bumbu, ada yang menyiapkan sayur semua mengambil bagian sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pemandangan menarik adalah bahwa mereka selalu melakukan dengan penuh kegembiraan. Kelompok ini menyiapkan 350 bungkus nasi karena keterbatasan tenaga untuk menyiapkan.
 
Sejak pagi sudah banyak orang yang datang mengantri untuk mendapatkan nasi murah. Melihat pemandangan seperti itu membuat perasaan haru, bahwa mereka sungguh orang-orang yang membutuhkan. Seminggu sekali mereka datang untuk mendapatkan nasi murah dan mereka rela antri dari pagi. Mereka sudah datang saat kelompok ini sedang menyiapkan masakan dan nasi.
 
Sebuah aksi sederhana untuk berbagi dengan saudara lain. Mereka menyiapkan dengan sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik untuk saudara-saudara yang membutuhkan. Sebuah langkah kecil namun memberikan kebahagiaan bagi banyak orang; tidak hanya untuk mereka yang dibantu tetapi juga kelompok yang menyiapkan. Sebuah karya sederhana namun menjadi harapan bagi yang membutuhkan. Mereka akan datang setiap hari Rabu dan sudah menyiapkan sejumlah uang untuk membeli sejumlah nasi bungkus untuk dirinya dan keluarganya. Dan menarik, kegiatan ini tidak pernah kekurangan bahan dan uang untuk menyiapkan. Selalu ada sumbangan yang menyongkong kegiatan ini.
 
Kegiatan semacam ini pasti juga terjadi di tempat lain. Sebuah karya sederhana, sebuah langkah kecil tetapi memberikan harapan dan kebahagiaan bagi banyak orang. Kiranya karya sederhana ini ambil bagian dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas: “Kerajaan Allah itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di kebunnya. Biji itu tumbuh dan menjadi pohon, dan burung-burung di udara bersarang di ranting-rantingnya.”
 
Bagaimana dengan aku? Dengan cara apa aku ambil bagian untuk mewujudkan Kerajaan Allah?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian : 25 Oktober 2021

Renungan Harian
Senin, 25 Oktober 2019

Bacaan I: Rom. 8: 12-17
Injil: Luk. 13: 10-17

Hukum Berbelas Kasih

“Romo, saya sebagai penegak hukum seringkali berhadapan dengan situasi yang amat sulit. Satu sisi hukum harus ditegakkan, semua orang sama kedudukannya di muka hukum. Tetapi di sisi lain sering kali harus berhadapan dengan sesuatu yang membuat nurani saya terluka.  Belum lagi kami berhadapan dengan tekanan publik yang tidak mudah dan tidak ringan.
 
Ada kalanya kami yakin bahwa orang ini harus dihukum berat tetapi semua tergantung di persidangan. Orang yang seharusnya dihukum berat tetapi bisa mendapatkan keringanan dan tidak jarang bisa bebas. Hal-hal seperti itu yang membuat hati nurani ini terluka.
 
Romo, ada pengalaman yang sungguh-sungguh membuat saya menangis saat harus menegakkan hukum. Ada seorang anak remaja, ditangkap masyarakat karena mencuri. Anak itu sudah babak belur dihakimi masa untuk masih bisa diselamatkan. Anak ini memang tertangkap basah mencuri beras di toko milik seorang warga. Saat anak ini kami periksa, dia mengaku datang dari desa lain, mencuri beras karena butuh makan untuk dia dan 2 orang adiknya. Menurut ceritanya dia sudah yatim piatu dan harus menghidupi 2 orang adiknya yang masih kecil. Selama ini dia bekerja sebagai pemulung untuk hidupnya dan menghidupi 2 orang adiknya. Hari itu dia kepepet lalu mencuri.
 
Saya tidak percaya begitu saja dengan cerita anak ini, karena biasa pencuri akan berdalih seperti itu. Lalu saya minta anggota untuk menyelidiki rumah anak ini. Dan benar bahwa di rumah yang tidak layak huni ada 2 orang anak, satu berumur 10 tahun dan yang satu berumur 7 tahun. Mendengar laporan anggota saya ke sana sendiri dan mendapati seperti apa yang dikatakan anggota. Saya amat sedih dan sungguh-sungguh bingung. Kalau anak ini dibebaskan, saya khawatir dengan keselamatan anak ini, tetapi kalau ditahan kasihan adik-adiknya.
 
Setelah berbicara dengan anggota, kami putuskan bahwa anak ini tetapi di kantor dan adik-adiknya juga dibawa agar berkumpul dengan kakaknya. Kemudian saya menemui warga yang kecurian dan RT,  RW serta lurah setempat. Saya menjelaskan kondisi anak yang mencuri dan mengajak aparat desa dan perwakilan warga untuk melihat kondisi rumah anak itu. Syukur pada Allah, Tuhan menggerakkan hati mereka. Warga yang kecurian bersedia mempekerjakan anak yang mencuri dan menanggung hidup harian anak itu dan adik-adiknya. Kami dari kepolisian dibantu warga 2 desa membangun rumah anak itu.
 
Romo, ternyata dalam situasi yang seperti itu kalau mau berpegang pada hati nurani dan kemanusiaan selalu ada jalan. Masih banyak orang baik yang ada di sekitar kita. Itulah romo hal-hal seperti itu yang sering kali berat bagi kami para penegak hukum,” seorang polisi sharing pengalamannya.
 
Ada banyak orang yang menggunakan hukum untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri sehingga mengorbankan kemanusiaan, namun tidak sedikit yang berani melawan arus dengan menegakkan hukum berlandaskan cinta dan belas kasih.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas, saat Yesus menegakkan hukum berlandaskan cinta dan belas kasih menjadikan banyak orang melihat kemuliaan Allah. “Semua lawan-Nya merasa malu, sedang orang banyak bersuka cita karena segala perkara mulia yang telah dilakukan-Nya.”
 
Bagaimana dengan aku? Apakah aku mengutamakan cinta dan belas kasih dalam menjalankan dan menegakkan aturan serta hukum?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian : 24 Oktober 2021

Renungan Harian
Minggu, 24 Oktober 2021

Bacaan I: Yer. 31: 7-9
Bacaan II: Ibr. 5: 1-6
Injil: Mrk. 10: 46-52

Mata Hati

“Aku sesungguhnya bingung dengan sikap kakak perempuanku ini. Saya pikir dia menjadi lega ketika suaminya sudah dipanggil Tuhan, karena memang suaminya itu menjadi sumber masalah. Suami kakakku ini seorang laki-laki bejat  dan penjahat  dalam arti sesungguhnya. Dia keluar masuk penjara sudah berkali-kali karena kejahatan yang diperbuatnya. Berkali-kali dia diingatkan kakakku dan keluarga kami tetapi tetap saja dia tidak pernah berubah. Untungnya, kalau disebut untung, keluarga kakakku tidak hidup dari hasil kejahatannya.
 
Kakakku bekerja keras menghidupi dirinya dan kedua anaknya, sedangkan suaminya dengan segala tindak kejahatannya menghasilkan uang hanya untuk kesenengan dirinya dengan perempuan-perempuan entah dimana. Setiap kali dia pulang ke rumah kakakku hanya untuk minta uang dan bahkan terakhir dia menggadaikan rumah kakakku yang dibeli dengan keringat kakakku sendiri. Setiap kali pulang hanya menimbulkan ketakutan bagi kakakku dan anak-anaknya.
 
Sudah berkali-kali kakakku meminta cerai, namun tidak pernah terjadi karena kakakku selalu diancam akan dibunuh dengan anak-anaknya kalau berani menggunggat cerai. Maka kakakku hanya bisa diam, dan berharap semoga semua segera berakhir. Bahkan pernah kakakku mengatakan bahwa dirinya  berharap suaminya ditembak polisi karena kejahatannya sehingga tidak ada lagi.
 
Itulah mengapa aku heran dengan sikap kakakku yang sekarang meratapi jenazah suaminya yang meninggal karena dikeroyok sejumlah orang karena kejahatannya. Meski aku bingung aku juga ikut terharu melihat kesedihan kakakku. Aku sempat bertanya: “mengapa harus diratapi? Bukankah dia memetik apa yang telah ditanamnya? Dan bukankah dengan demikian kakak menjadi lebih tenang?” “Bagaimanapun dia adalah bapak dari anak-anakku. Meski aku benci dan beberapa kali berharap dia tidak ada, namun tidak bisa dipungkiri bahwa aku mencintai dia. Dia memang penjahat tetapi rasa hati ini tidak rela bahwa dia mendapatkan perlakuan seperti ini,” jawab kakakku. Aku hanya diam dan mencoba mengerti perasaan kakakku yang berduka. Cinta yang masih ada membuat kakakku bisa melihat sisi yang lain dari suaminya yang penjahat itu,” seorang teman menceritakan pengalamannya.
 
Cinta memberi cara pandang yang berbeda. Mata hati, mata cinta mampu melihat sisi baik, membuat seseorang mampu melihat dengan lebih terang dan jernih. Betap sering aku mengadili dan merendahkan orang lain karena aku tidak memandang dengan mata hatiku. Kalau aku sering mengeluh dan kurang bersyukur karena aku tidak mampu memandang dengan mata cinta. Dengan kata lain mata hati dan mata cintaku buta. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Markus, aku juga mohon ingin bisa melihat. “Rabuni, semoga aku dapat melihat”.
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 23 Oktober 2021

Renungan Harian
Sabtu, 23 Oktober 2021

Bacaan I: Rom. 8: 1-11
Injil: Luk. 13: 1-9

Kesempatan

“Sebetulnya aku tidak ingin menyalahkan lingkungan bahwa aku terjerumus dalam dunia hitam ini. Tetapi kenyataannya  aku jatuh dalam dunia ini karena pergaulanku. Sejak SMP aku sudah mengenal obat-obatan dan kemudian lebih lagi mengenal Narkoba. Awalnya aku selalu dapat barang-barang itu dari teman-temanku tapi lama kelamaan, aku harus membeli sendiri. Awalnya aku bisa membeli barang dengan uang jajanku, dan pemberian orang tua. Kemudian aku sering minta ke orang tua, karena uang jajanku tidak cukup lagi memenuhi kebutuhanku bahkan aku sering marah dan ngamuk bila aku tidak mendapat uang yang aku minta.
 
Akibat kecanduan itu, berkali-kali aku harus dirawat di rumah sakit karena kelebihan dosis. Tetapi semua itu tidak membuat aku jera bahkan semakin dalam kecanduanku. Di hadapan keluargaku aku memang selalu berpura-pura bahwa aku sudah tidak terlibat dengan Narkoba. Aku menunjukkan bahwa aku bekerja agar keluargaku percaya bahwa aku sudah tidak terlibat dengan barang-barang haram itu. Sampai kemudian aku menikah dan keluarga semua bersyukur karena menganggap aku sudah sembuh.
 
Kebutuhan ku akan barang haram semakin besar sehingga saat barang-barang di rumah sudah tidak ada yang bisa dijual lagi, aku mulai mencuri barang-barang di kantor. Akibatnya aku ketahuan dan dibawa ke kantor polisi. Berkat usaha keluargaku aku bisa dibebaskan dan kembali ke keluargaku. Setelah keluar dari penjara, aku kumpul dengan teman-temanku sesama pencandu dan di saat itu aku over dosis dan dibawa ke rumah sakit. Menurut cerita istriku saat itu aku sudah tidak bisa tertolong lagi, namun entah bagaimana aku bisa melewati masa krisis itu.
 
Begitu aku keluar dari rumah sakit, istriku ngomong: “Berkali-kali kamu diberi kesempatan hidup, dan terakhir kemarin sebenarnya kamu sudah mati. Kalau sekarang kamu masih bisa hidup itu sungguh-sungguh mukjizat. Sekarang terserah kamu, mau tetap seperti ini dan ujungnya mati atau mau menggunakan kesempatan ini. Aku sudah pasrah, kamu mau hidup ayo kita bangun hidup kita, tetapi kalau kamu mati ya silahkan.” Kata-kata istriku seperti petir di telingaku dan membuat aku berkeputusan untuk berubah. Aku ngomong ke istriku: “Aku mau berubah, aku mau direhab, tolong bantu aku.” Istriku memelukku, “Kamu pasti bisa, ayo kita bangun hidup kita,” kata istriku sambil berlinang air mata, “ seorang teman berkisah tentang hidupnya.
 
Seperti kata para bijak: “Kesempatan tidak datang dua kali”, maka tinggal bagaimana aku menggunakan kesempatan yang ada dan tersedia bagiku. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas, Tuhan memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki diri. “Tuan, biarkanlah pohon ini tumbuh selama setahun ini lagi. Aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya. Mungkin tahun depan akan berbuah. Jika tidak, tebanglah!”.
 
Bagaimana dengan aku? Apakah aku mau dan mampu menggunakan kesempatan yang diberikan kepadaku?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 22 Oktober 2021

Renungan Harian
Jumat, 22 Oktober 2021

Bacaan I: Rom. 7:18-25a
Injil: Luk. 12: 54-59

Tidak Mau Tahu

“Romo, hati saya sungguh-sungguh hancur, saya tidak tahu lagi harus berbuat apa dan bagaimana. Saya berdosa, amat berdosa; saya benar-benar salah. Seandainya saya berani lebih tegas dan mau sedikit ribut mungkin semua ini tidak akan terjadi.
 
Romo, suami saya tahu bahwa pandemi covid ini amat berbahaya dan penularannya juga sudah kemana-mana. Dia juga bercerita kalau beberapa temannya sudah terpapar dan harus dirawat di rumah sakit. Dia juga bercerita bagaimana teman-temannya menderita akibat terpapar virus ini. Bahkan dia juga menceritakan beberapa temannya yang meninggal akibat virus covid.
 
Romo, dia sadar bahwa semua orang bisa terpapar virus covid ini sehingga dia selalu menjaga kami, saya dan anak-anak. Dia selalu menjelaskan harus bersih, harus jaga jarak dan semua hal agar kami semua selamat. Bahkan dia melarang kami untuk membeli makanan dari luar, anak-anak dilarang jajan. Dia minta saya untuk selalu memasak dan bikin camilan untuk anak-anak. Saya melakukan semua itu karena saya tahu semua demi kebaikan kami.
 
Tetapi, sikap dia terhadap dirinya, soal menghadapi pandemi ini yang sering bikin kami ribut sehingga pada titik tertentu saya mengalah, karena tidak mau ribut terus. Dia yang tahu dan sadar akan bahaya virus ini, dia justru abai dengan segala yang dia katakan pada kami. Dia mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang sehat, punya antibodi yang baik sehingga dia tidak akan tertular. Dia selalu marah kalau saya ingatkan agar tidak kumpul-kumpul dengan temannya. Dia selalu mengatakan agar saya tidak parno, dan minta saya untuk mengerti bahwa dia dan teman-temannya adalah orang-orang sehat dan punya kekebalan tubuh yang baik.
 
Sampai kemudian dia terpapar dari temannya yang juga meninggal karena covid. Saya menyesal dan selalu dibayangi dosa besar. Seandainya saya tidak menyerah, seandainya saya mau ribut setiap hari demi keselamatan dia, pasti dia sekarang masih bersama kami. Romo, hari-hari saya terasa gelap dan air mata ini rasanya sudah kering,” seorang ibu bercerita saat saya merayakan ekaristi mengenang 7 hari suaminya dipanggil Tuhan.
 
Mendengar cerita ibu itu, saya seperti ditegur keras juga. Betapa dalam banyak hal saya tahu, saya sadar bahkan saya bisa memberi tahu orang lain, tetapi untuk diri sendiri tidak peduli, tidak mau tahu, malas tahu. Dalam banyak segi kehidupan itu yang sering terjadi, termasuk dalam hidup beriman. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas: “Kalian tahu menilai gelagat bumi dan langit, tetapi mengapa tidak dapat menilai zaman ini? Dan mengapa engkau tidak memutuskan sendiri apa yang benar?”.
 
Bagaimana dengan aku? Apakah aku sadar akan tanda-tanda yang diberikan kepadaku dan telah memutuskan dengan benar?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 21 Oktober 2021

Renungan Harian
Kamis, 21 Oktober 2021

Bacaan I: Rom. 6: 19-23
Injil: Luk. 12: 49-53

Mengobarkan Api

“Romo, kami berdua sudah memutuskan bahwa kami akan berpisah. Kami mohon saran romo, langkah-langkah apa yang harus kami tempuh. Kami berharap bisa resmi pisah sesuai dengan aturan Gereja, tetapi kalau tidak mungkin kami akan pisah secara sipil.
 
Romo, ini keputusan kami berdua, bukan karena ada orang ketiga atau yang lain. Semua murni dari kesadaran kami berdua bahwa kami tidak mungkin melanjutkan hidup perkawinan kami. Berpisah adalah pilihan yang baik bagi kami, kiranya dengan berpisah kami jadi lebih tenang dan lebih bahagia.

Karena kalau kami melanjutkan hubungan kami maka yang terjadi kami malah sering ribut, dan cenderung saling menyakiti. Soal anak-anak tidak ada masalah, kami sudah bicara dengan mereka dan mereka tidak ada keberatan apapun; bahkan mereka mengatakan itu ide yang baik daripada mereka melihat kami sering ribut.
 
Romo, setelah  20 tahun kami menjalani hidup perkawinan, semakin lama kami semakin tidak mengenal satu sama lain. Saya berpikir kemana, dia berpikir kemana. Kami juga merasakan bahasanya menjadi aneh satu sama lain sudah tidak nyambung sehingga hal-hal sepele menjadi besar karena salah mengerti, salah tangkap. Kami sendiri bingung dengan situasi ini dan itulah romo, kami pikir berpisah adalah pilihan terbaik,” seorang suami menjelaskan maksud kedatangannya.
 
Setelah berbincang cukup lama, mendengarkan cerita dari pasangan itu, kami ( saya dan pasangan suami istri itu) menemukan bahwa sumber dari permasalahan adalah tidak adanya komunikasi diantara keduanya. Keduanya amat sibuk bekerja, saat pulang ke rumah sibuk dengan urusan rumah, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mereka sendiri berbicara dari hati. Semua pembicaraan selalu berkaitan dengan hal-hal teknis dan fungsional. Mereka saling mencintai dan masih saling mencintai tetapi nyala api cinta itu tidak berkobar lagi.
 
Dalam pembicaraan mereka mencoba untuk menyediakan waktu berdua, menikmati waktu berdua, berbicara tentang rasa tidak tentang hal-hal yang sifatnya fungsional. Mereka berjanji paling kurang sekali dalam seminggu mereka akan menyediakan waktu untuk berdua, tanpa anak-anak tanpa orang lain; dengan harapan apinya bernyala kembali.
 
Syukur pada Allah setelah 3 bulan mereka menemukan nyala api cinta mereka kembali dan mencabut keputusan untuk berpisah. Mereka menemukan kembali gairah hidup perkawinan mereka, yang telah mereka bangun.
 
Membangun komunikasi pribadi yang intens, bukan komunikasi fungsional tetapi berani mengungkapkan rasa secara pribadi menjadi kunci mengobarkan api kembali. Pengalaman pasangan suami istri itu menyadarkan saya, untuk dapat mengobarkan api iman, api cintaku pada Allah kuncinya adalah membangun relasi personal dengan Allah. Bukan hanya sekedar rutinitas doa dan beribadat tetapi membangan rasa dalam doa-doa pribadi.  Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas: “Aku datang melemparkan api ke bumi dan betapa Kudamba agar api itu selalu menyala!”.
 
Bagaimana dengan aku? Dengan cara apa aku mengobarkan api cintaku?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 20 Oktober 2021

Renungan Harian
Rabu, 20 Oktober 2021

Bacaan I: Rom. 6: 12-18
Injil: Luk. 12: 39-48

Persiapan

“Romo, saya amat bersyukur dengan segala berkat yang boleh saya terima dan saya alami. Hari-hari saya penuh syukur dan saya jalani dengan ringan. Saya bersyukur dan bahagia melihat anak-anak sudah berkeluarga dan mereka hidup mapan berkecukupan. Mereka telah memberi saya cucu-cucu yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik.

Saya mengisi hari-hari saya dengan merawat tanaman; melihat-lihat kebun yang dikerjakan oleh dua orang pekerja; dan sesekali melihat sawah yang dikerjakan orang lain. Saya selalu mengatakan pada istri saya agar menikmati hari-hari kami berdua, jangan merepotkan anak cucu.
 
Romo, apa yang kami nikmati sekarang semua adalah berkat yang tidak pernah terbayangkan pada masa lalu. Kami berdua bekerja keras untuk menghidupi keluarga ini. Kami mengawali hidup dengan pas-pasan, dan kekuatan kami hanyalah doa.

Kami berserah dan percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan rahmatnya. Betul kami bekerja keras siang malam, kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, ibaratnya; tetapi kami amat sadar dan yakin bahwa tanpa berkat dari yang di atas kami tidak akan bisa seperti sekarang ini.
 
Sejak dulu kami selalu membangun sikap berserah. Kami berdua selalu saling meyakinkan bahwa hidup di dunia ini tidak lama, maka kerja keras, duka lara kami juga hanya sementara. Maka kami tidak ingin muluk-muluk dengan hidup, pokoknya tugas kami bekerja keras untuk kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga.

Bahkan kami juga sepakat siapapun yang ditinggal; bila salah satu dari kami dipanggil; kami tidak akan banyak meratap karena yang dipanggil sudah bahagia dan yang ditinggal harus segera melanjutkan hidup ini dengan kerja keras sebagai bentuk syukur atas rahmat yang ada sekecil apapun itu.
 
Di ujung usia kami, meski kami belum terlalu tua, kami telah menyiapkan segala sesuatu bila saat kami dipanggil tiba. Romo, lihat kamar yang di belakang itu isinya adalah perlengkapan kalau saat itu tiba. Kami telah menyiapkan peti jenazah, payung, papan nama, pakaian yang akan kami kenakan dan lainnya. Bukan maksud kami untuk “nggege mongso” (mempercepat waktu) tetapi lebih untuk pengingat bagi kami bahwa kami harus selalu siap bila saat itu tiba. Anak-anak protes dan marah, tetapi kami memberi penjelasan bahwa Tuhan memanggil bisa kapan saja maka harus tahu dan sadar untuk siap-siap untuk berpantas diri. Sehingga saat kami dipanggil kami bisa dengan pasrah dan gembira menerima panggilan itu. Kami ingin bila saat itu tiba kami bisa pergi dengan tersenyum,” seorang bapak bercerita ketika saya  berkunjung ke rumahnya.
 
Meski agak serem bagi saya, tetapi kata-kata bapak itu bahwa semua itu sebagai pengingat membuat saya kagum dengan kepasrahan dan imannya. Tidak banyak orang bisa sampai pada sikap seperti itu, bahkan saya sendiri pun masih jauh dari sikap seperti itu.

Bentuk kesiap sediaan yang luar biasa. Satu sisi tetapi bekerja dan menikmati hidup dengan syukur dan dilain pihak selalu siap bisa saatnya tiba.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas, Yesus mengingatkan agar manusia selalu bersiap diri menghadapi panggilanNya. “Hendaklah kalian juga siap-sedia, karena Anak Manusia akan datang pada saat yang tak kalian sangka-sangka.”
 
Bagaimana dengan aku? Dengan cara apakah aku bersiap diri?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 19 Oktober 2021

Renungan Harian
Selasa, 19 Oktober 2021

Bacaan I: Rom. 5: 12. 15b. 17-19. 20b-21
Injil: Luk. 12: 35-38

Penyesalan

“Setiap pulang kerja, sering aku melamun sambil melepas lelah sejenak.  Aku seorang pelayan toko; aku sudah bertahun-tahun kerja  sebagai pelayan toko. Sejak lulus SMA aku sudah bekerja sebagai pelayan toko.  Memang, aku telah beberapa kali berpindah tempat kerja, tetapi tetap sama sebagai pelayan toko. Aku melamun dan berandai-andai. Andai dulu aku tidak aneh-aneh mungkin hidupku tidak seperti sekarang ini. Aku melihat teman-teman kuliahku banyak yang sudah sukses, minimal mereka bekerja lebih baik tidak seperti aku seorang pelayan toko, dadaku terasa berdebar keras.
 
Aku sebetulnya bisa disebut anak yang beruntung. Setelah lulus SMA, orang tuaku tidak mampu membiayaiku kuliah karena memang kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Aku ditawari kerja jadi pelayan toko, dan aku juga ditawari kuliah sore hari. Aku bekerja dapat gaji untuk jajan dan keperluan sehari-hari sedang biaya kuliah ditanggung bos tempat aku bekerja. Namun karena kemalasanku dan ketidak sadaranku, aku sering begadang dengan teman-teman selepas kuliah. Akibatnya aku selalu terlambat kerja dan kerja juga tidak fokus. Akibatnya setelah satu tahun aku bekerja aku diberhentikan. Anehnya saat itu aku tidak merasa kecewa dan sedih. Aku berpikir tidak kuliah juga tidak apa-apa yang penting masih bisa main sama teman-temanku.
 
Selepas aku diberhentikan tidak sampai satu bulan aku dapat tawaran kerja sebagai pelayan toko. Dan aku beruntung karena bos tempat saya bekerja juga memberi kesempatan saya untuk kuliah. Namun lagi-lagi aku tidak sadar akan berkat ini. Aku tetap saja lebih banyak main di malam hari dan bahkan pergaulanku semakin tidak baik. Akibat dari semua itu aku harus menikah muda karena harus bertanggung jawab atas perbuatanku pada pacarku.
 
Aku harus menikah meski belum siap, dan harus mencari pekerjaan baru karena aku diberhentikan, sementara kuliahku banyak yang tidak lulus sehingga aku drop out. Jadilah aku seorang bapak dan seorang suami meski aku sebetulnya belum ingin. Sekarang aku bekerja dan harus bekerja karena harus menghidupi istri dan anak. Aku sekarang hidup pas-pasan cenderung berkekurangan. Itulah yang membuat aku sering melamun dan berandai-andai. Aku menyesali kehidupanku masa lalu tetapi hidupku tidak bisa diputar lagi,” seorang anak muda menceritakan kisahnya.
 
Kesempatan berahmat telah ia sia-siakan karena terlena dengan kesenangan-kesenangan pribadi. Kesetiaan dan ketekunan untuk menghidupi kesempatan berahmat hilang dari dirinya sehingga meninggalkan penyesalan. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas, Yesus mengingatkan pentingnya untuk selalu setia dan tekun dalam menjalani perutusan, apapun itu bentuknya. Ketekunan dan kesetiaan itu akan mendatangkan rahmat. “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.”
 
Bagaimana dengan aku? Apakah aku tekun dan setia dalam menjalani perutusanku?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 18 Oktober 2021

Renungan Harian
Senin, 18 Oktober 2021
Pesta St. Lukas, Penulis Injil

Bacaan I: 2Tim. 4: 10-17b
Injil: Luk. 10: 1-9

Tim Pendahulu

Seorang teman yang bekerja di pemerintahan berceritera bahwa salah satu tugas yang di embannya adalah menjadi tim pendahulu. Dia menjelaskan bahwa apabila ada pejabat akan mengunjungi suatu tempat, maka dia dan timnya akan datang terlebih dahulu ke tempat itu. Tim ini memastikan kesiapan segala sesuatu di tempat itu, baik dari sisi keamanan, pengaturan tempat, agenda kunjungan dan sebagainya. Semua harus dipersiapkan dengan teliti. Apabila semua hal sudah diperiksa dengan teliti dan semua sudah siap, maka pejabat bisa kunjungan ke tempat itu. Apabila beberapa hal belum siap dan bisa dikejar sebelum hari kunjungan maka harus segera dibereskan sehingga kunjungan dapat terlaksana. Namun apabila ada masalah-masalah yang tidak beres dan tidak dapat diselesaikan pada hari kunjungan dan masalah itu amat penting bagi keselamatan pejabat yang akan berkunjung maka kunjungan akan dibatalkan.
 
Tim pendahulu tugasnya cukup berat dan resiko juga tidak kecil. Tanggung jawab “keberhasilan” kunjungan, keselamatan pejabat yang berkunjung ada pada pundaknya. Apalagi bila kunjungan pejabat utama dibatalkan maka kekecewaan daerah yang akan dikunjungi ditimpakan kepada tim ini. Teman saya mengatakan meski tugas dan tanggung jawabnya cukup berat namun dia bangga dan bahagia karena melihat apa yang dilakukan adalah bentuk pengabdian kepada bangsa dan negara.
 
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas,  dia bangga dan bahagia karena melihat apa yang dilakukan adalah bentuk pengabdian kepada bangsa dan negara.
 
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Lukas, Yesus mengutus 70 murid untuk mendahului ke tempat-tempat yang akan dikunjungiNya. Kiranya tugas para murid adalah mempersiapkan segala sesuatu agar kunjungan Yesus ke tempat itu memberikan buah bagi masyarakat di situ. Dengan kata lain para murid mempersiapkan jalan bagi Yesus. Para murid meskipun diberi kuasa namun bukan yang pertama dan utama untuk berkunjung, mereka adalah tim yang mempersiapkan. “Tuhan menunjuk tujuh puluh murid, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahuluiNya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungiNya.”
 
Bagaimana dengan aku? Apakah aku sebagai utusan telah mempersiapkan jalan untuk Tuhan dan bukan untuk diriku sendiri?
 
Iwan Roes RD

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia.