Renungan Harian: 24 Juli 2021

Renungan Harian
Sabtu, 24 Juli 2021

Bacaan I: Kel. 24: 3-8
Injil: Mat. 13: 24-30

Lebih Aman

Sebuah komunitas kecil terasa nyaman, tentram. Segala sesuatu nampaknya mudah dalam perjalanan komunitas ini. Para anggotanya nampak akrab dan dapat menyelesaikan beberapa persoalan dengan baik dan cepat. Kemudian komunitas yang kecil ini membuka diri untuk masuknya orang-orang baru karena memang komunitas ini dimaksudkan untuk sebuah komunitas terbuka dan berharap semakin banyak orang menjadi anggota komunitas.
 
Ketika komunitas ini bertambah anggota dan semakin besar, mulai dirasakan bahwa komunitas ini tidak senyaman ketika komunitas ini masih kecil. Komunikasi menjadi semakin sulit, banyak persoalan tidak mudah untuk diselesaikan  dan mulai terasa bahwa komunitas sulit untuk diatur. Situasi itu diperparah dengan munculnya kecurigaan dari beberapa anggota komunitas lama bahwa ada orang-orang baru yang masuk komunitas dengan tujuan tidak baik. Beberapa orang ini mencurigai bahwa beberapa orang baru ini akan menguasai komunitas dan akan mempergunakan komunitas ini untuk kepentingan sendiri.
 
Berhadapan dengan situasi seperti itu, beberapa orang mulai mengusulkan dan berusaha agar beberapa orang baru itu dikeluarkan dari komunitas, karena amat mengganggu dan membuat tidak nyaman. Dengan orang-orang itu dikeluarkan komunitas akan menjadi lebih nyaman dan aman.

Namun, Sesepuh komunitas itu tidak setuju. Beliau mengatakan:
“Kalau ada permasalahan dalam komunitas ini jangan dengan gampang menyingkirkan orang lain yang tidak cocok dengan kita. Jangan-jangan justru kita sendiri yang menjadi sumber masalahnya. Sekarang hal yang paling penting adalah menemukan cara berkomunikasi yang baru karena komunitas sudah menjadi semakin besar. Pada waktu masih kecil lebih mudah karena semua cepat mengatakan iya, tetapi sekarang ada beberapa orang yang mulai berani mengatakan tidak.
 
Jangan mudah berprasangka buruk, ayo kita jalan sesuai dengan maksud dan tujuan komunitas ini, kita berjalan sesuai dengan cara bertindak komunitas ini. Kalau benar ada yang punya niat jahat nanti akan kelihatan dengan sendirinya. Semua akan dapat dilihat dari buahnya.”
 
Betapa mudah dalam diriku muncul dorongan untuk menyingkirkan atau menghilangkan orang yang tidak disukai atau yang tidak cocok denganku. Betapa mudah aku menghakimi orang lain sebagai orang “jahat” ketika orang itu tidak sepaham denganku. Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Matius, mengingatkan aku, untuk tidak mudah menghakimi orang lain, tetapi berani untuk hidup dan tumbuh bersama. Pada saatnya akan diketahui dari buahnya, mana yang menghasilkan buah yang baik dan mana yang menghasilkan buah tidak baik. “Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kalian mencabut lalangnya. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai tiba.”
 
Bagaimana dengan aku? Apakah aku bagian dari orang-orang yang mudah untuk menyingkirkan atau menghilangkan orang lain?
 
Iwan Roes RD

Renungan Harian: 23 Juli 2021

Renungan Harian
Jum’at, 23 Juli 2021

Bacaan I: Kel. 20: 1-17
Injil: Mat. 13: 18-23

Terbelit Mimpi

Beberapa waktu yang lalu ada seorang bapak datang dan berkeluh kesah tentang istrinya. Bapak itu bercerita panjang lebar, yang intinya dirinya merasa tidak didukung oleh sang istri untuk mengembangkan usaha.

Dia merasa bahwa dia selalu sukses dalam berusaha dan sekarang ada peluang bisnis besar yang amat menjanjikan. Ketika saya tanya bentuk dukungan apa yang diharapkan dari istrinya, bapak itu mengatakan bahwa dukungan yang diharapkan dari istrinya adalah modal. Saya agak bingung dengan cerita bapak itu maka saya bertanya:
“Bapak, kalau bapak sudah berhasil membangun bisnis mengapa sekarang  meributkan dukungan modal dari istri?”

Bapak itu menjawab bahwa semua usaha bisnisnya atas nama istrinya dan semua hasil dari bisnis yang sukses selalu diserahkan pada istri. Sehingga dirinya tidak memegang uang. Karena saya hanya mendengar sepihak maka saya meminta bapak itu datang mengajak istrinya untuk bicara bersama.
 
Pada hari yang dijanjikan kami bertemu bertiga. Saya menjelaskan pada istrinya bahwa beberapa waktu lalu suami datang dan berkeluh kesah berkaitan dengannya. Maka saya meminta datang untuk mendengarkannya.

Ibu itu berkata:
“Romo, maaf sebenarnya saya malu dan sudah bosan untuk bicara soal ini. Romo, apa yang dia ceritakan itu bohong. Semua itu tidak ada. Dia berkali-kali bilang minta modal untuk bisnis ini dan itu yang  katanya bisnis besar dan menjanjikan tapi tidak pernah ada hasil. Sudah banyak uang yang tidak jelas juntrungannya dan bentuk usahanya juga tidak ada kelihatan. Pernah suatu saat rumah dan kendaraan serta tabungan kami habis untuk mendukung usahanya, tetapi bangkai usahanya aja tidak bisa dilihat. Romo bisa tanya ke orangnya sekarang, dimana wujud usaha-usaha yang dia bangun. Romo juga bisa tanya ke dia apakah pernah dia memberi nafkah untuk kami, biaya hidup dan biaya sekolah anak-anak. Sejak menikah dia hidup selalu dengan mimpi-mimpi membangun bisnis. Saya sudah berkali-kali bilang jangan mimpi yang tinggi-tinggi, yang aneh-aneh, sudah kerja apa saja yang bener. Tidak usah mikir keluarga, cukup untuk jajan dirinya aja saya sudah bersyukur romo.”
 
“Bapak sudah mendengar dari istri bapak sendiri. Menurut bapak yang dikatakan istri bapak benar? Atau ada yang ingin dikoreksi?” tanya saya kepada bapak itu.

“Semua betul romo, tetapi namanya usaha gagal itu biasa, kalau usaha berhasil kan untuk keluarga,” jawab bapak itu. 

“Bapak, menurut hemat saya, saran dan permintaan istri bapak itu amat baik. Bapak kerja dan tekuni pekerjaan itu. Bapak punya keluarga dan punya tanggung jawab besar, maka saatnya menjadi real,” kata saya.
 
Ternyata mimpi bisa membelit orang sehingga menjadikan seseorang lupa diri dan hidup dalam bayang-bayang. Orang tidak sadar dengan kemampuannya dan tidak mampu mempergunakan kemampuannya. Bahkan bukan hanya tidak mampu mempergunakan tetapi lebih dari itu dia telah menyianyiakan kemampuannya. Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Matius, orang semacam itu seperti benih yang jatuh di semak berduri.
“…Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar sabda itu lalu sabda itu terhimpit oleh kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan sehingga tidak berbuah.”
 
Bagaimana dengan aku? Tanah semacam apakah diriku?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 22 Juli 2021

Renungan Harian
Kamis, 22 Juli 2021
Pesta St. Maria Magdalena

Bacaan I: Kid. 3: 1-4a
Injil: Yoh. 20:1. 11-18

Aku Tidak Kehilangan

Suatu pagi saya mengunjungi seorang bapak yang meminta sakramen pengurapan orang sakit. Bapak itu sudah amat sepuh, tetapi masih nampak sehat segar. Beliau masih bisa berjalan sendiri meski perlahan dan memakai tongkat. Bicara masih jelas dan pendengarannya pun masih baik.
“Selamat pagi opa, opa sehat?” sapaku.

“Selamat pagi romo. Puji Tuhan sehat  romo, yaaa sehatnya orang tua,” jawabnya.

“Opa masih kelihatan segar. Maaf saya pikir opa sakit, sehingga meminta sakramen pengurapan orang sakit,” kata saya.

“Ooo, saya sehat romo. Maaf merepotkan, saya minta sakramen minyak suci karena saya merasa saya cukup, sudah menerima dan menemukan apa yang saya cari, dan kiranya kalau Tuhan memanggil saya siap.  Jadi ya untuk jaga-jaga saja, siapa tahu tidak sempat lagi menghubungi romo,” jawab opa itu.

“Opa, apa yang opa cari, kalau saya boleh tahu?” tanya saya.
 
“Romo, saya itu dibabtis sudah tua, waktu itu saya sudah umur 65 tahun. Sebelumnya saya bisa disebut tidak beragama. Dari kecil ya ikut agama orang tua, tetapi saya tidak pernah ikut acara-acara mereka. Saya mempelajari beberapa agama lewat buku-buku tetapi tidak ada yang membuat saya  tertarik. Kalau saya ditanya apakah saya percaya pada Allah, yaa… saya percaya tetapi tidak membuat saya harus menyembah atau bagaimana. Istri dan anak-anak saya semua jadi katolik, saya tidak keberatan, silahkan tetapi jangan paksa saya ikut.
Romo bagi saya tidak penting orang itu beragama apa, yang penting orang itu berbuat baik sama orang lain, jangan jahat  sama orang, dan jangan kikir. Orang kalau mau sukses yang harus mau berjuang dan menderita, bukan dengan doa-doa kesana kemari. Itu prisip saya dan itu saya hidupi bertahun tahun.
 
Suatu ketika anak perempuan saya satu-satunya dari 5 orang anak saya, setelah lulus kuliah bilang kalau dirinya mau masuk biara mau jadi suster. Wah, saya tidak setuju, pokoknya tidak. Jadi katolik saya tidak keberatan tetapi kalau jadi suster tidak. Saya tidak mau kehilangan anak perempuan saya. Dia nekat romo, melawan saya. Memang dia itu keras seperti saya. Karena dia nekat, ya terserah, pokoknya saya tidak mau tahu. Saya tidak pernah mau bicara sama dia. Ada acara kaul atau apa saya tidak pernah mau datang. Dia libur di rumah ya biasa saja tetapi saya tidak pernah tanya kalau dia menyapa ya saya jawab seperlunya.
 
2 tahun sebelum saya baptis, saya kena serangan jantung dan dibawa ke rumah sakit. Waktu itu saya langsung masuk ICU. Romo, ternyata anak saya yang jadi suster itu datang lebih dulu dibanding kakaknya, meskipun mereka lebih dekat; tetapi karena ada anak dan macam-macam mereka lebih lambat. Itu hal pertama yang saya temukan ternyata anak saya yang jadi suster tetap sayang pada saya meskipun saya tidak peduli dan ternyata saya tidak kehilangan dia.
 
Ketika dia menemani saya dia bilang:
“Papi berdoa, mohon kesembuhan dari Tuhan, dedek juga berdoa bareng papi.” Wah saya tidak pernah berdoa dan tidak ingin berdoa maka yang dikatakan ke dia bahwa saya tidak bisa berdoa.
Dia ngomong lagi: “Papi, tidak usah bicara, papi diam, dalam hati bilang ke Tuhan, Tuhan kasihanilah aku. Udah papi ngomong itu dalam hati berulang-ulang.” Saya iyakan saja tetapi saya tidak lakukan. Baru waktu malam saya susah tidur saya ingat apa yang dikatakan anak saya dan saya melakukan. Romo saat itu tiba-tiba saya merasa tenang dan damai. Saya yang awalnya takut mati tiba-tiba tidak takut lagi. Saya kemudian sadar: ” oh Tuhan telah saya temukan bukan lewat buku-buku tetapi lewat rasa tenang dan damai yang saya terima. Dan yang paling penting saya jadi tidak takut mati, karena pasti ada damai dan ketenangan.” Opa itu bercerita.
Sebagaimana pengalaman penulis Kidung Agung mencari kekasihnya dan menemukan kekasihnya sehingga tidak ingin melepaskan lagi. Demikian pula kiranya pengalaman pergulatan orang yang mencari dan menemukan Tuhan.
 
Bagaimana dengan aku? Pergulatan macam apa yang kualami untuk menemukan Tuhan?
 
Iwan Roes RD.

Kegiatan CLC DI INDONESIA

IGNATIAN DAY 2021

Novena & Misa Bersama

Memperingati Hari Ignatius Loyola, dan merayakan Tahun Ignatius, kami mengundang rekan rekan CLC di Indonesia dan simpatisan, untuk :

Berdoa Novena Tahun Ignasius -CLC di Indonesia 2021-

(31 Juli 2021, 18.00-20.00 wib; Sharing via zoom & Misa Bersama; link zoom&youtube menyusul)

Mari bersatu dalam doa dan Ekaristi, sebagai wujud perutusan komunitas kita, menjawab keprihatinan yang ada.

Salam,
Exco CLC di Indonesia

Renungan Harian: 21 Juli 2021

Renungan Harian
Rabu, 21 Juli 2021

Bacaan I: Kel.16: 1-5. 9-15
Injil: Mat. 13: 1-9.

Cacing Tanah

Sejak masa pandemi mulai, saya dibantu dengan seorang karyawan mencoba bertanam sayuran dengan cara hidroponik dan di tanah. Mengingat tidak ada lahan tanah untuk bertanam maka kami memanfaatkan talang air bekas.  Talang air itu kami isi dengan tanah untuk bertanam. Kami  membeli tanah lembang yang terkenal kesuburannya. Jadilah setelah mengisi talang dengan tanah dan menambahkan pupuk kami menanam pakcoy; selain mudah ditanam juga enak untuk dimasak.
 
Tanaman tumbuh dengan subur dan sedap dipandang. Saat panen tiba maka kami membagi hasil panenan kepada umat yang membutuhkan. Setelah sayuran dipanen kami mulai menanam sayuran lagi. Kali ini kami menanam sayur pagoda. Pagoda kami tumbuh subur daun-daunnya mekar indah. Sebagaimana tanaman terdahulu, kali ini saat penen tiba kami juga membagi kepada umat yang membutuhkan.
 
Setelah panen seperti biasa kami mulai menanam sayuran lagi. Kali ini kami menanam sawi hijau. Namun ternyata sawi yang kami tanam tidak tumbuh dengan baik, bahkan dapat dikatakan kami gagal dalam bertanam. Saya agak bingung, kenapa di tempat yang sama dengan tanah yang subur, tanah sudah dipersiapkan dan diberi pupuk yang sama tetapi kali ini gagal. Karena ketidak tahuan saya maka saya bertanya kepada salah seorang umat yang ahli dalam bidang pertanian. Dia memberi saran, yang sungguh-sungguh tidak pernah saya pikirkan.
 
Beliau mengatakan: “Tanah yang tanamannya habis dipanen tidak bisa langsung ditanami lagi. Betul tanahnya subur, dan diolah dengan cara yang sama dengan pengalaman panen yang bagus sebelumnya.  Namun demikian tanah tidak ada waktu untuk “istirahat”. Tanah butuh “diistirahatkan” barang sejenak agar dapat  “bernafas”. Selain itu beliau menyarankan agar tanah diberi cacing tanah. Cacing tanah akan mengurai tanah agar tanah tidak menjadi padat karena disiram, sehingga tanah bisa “bernafas” dengan baik.” Saran itu kami ikuti dan ketika kami menanam lagi hasil sungguh luar biasa, karena lebih bagus dari sebelumnya.
 
Bertolak dari pengalaman bertanam tadi saya belajar bahwa tanah yang subur dan menghasilkan panen, membutuhkan waktu untuk “istirahat” untuk “bernafas”dan perlu ada cacing tanah yang mengurai tanah agar tidak padat.

Demikian juga dengan diriku. Andai diriku adalah tanah yang subur telah menghasilkan buah yang berlimpah, perlu untuk mengambil waktu untuk menghirup “nafas” pembaharuan diri. Di samping itu perlu “cacing tanah” dalam diriku yang membuat diri  selalu gelisah untuk memperbaharui diri, tidak menikmati kemapanan.
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia. 

Renungan Harian: 20 Juli 2021

Renungan Harian
20 Juli 2021

Bacaan I: Kel. 14: 21-15 :1
Injil: Mat. 12: 46-50

Orang Tuaku

Suatu sore, saya kedatangan tamu seorang anak muda. Dia bukan warga paroki di mana saya menjalani perutusan, dia adalah salah seorang yang sedang berziarah di tempat kami. Dalam perjumpaan itu ia langsung bertanya: “Romo, apakah yang disebut orang tua, bapak dan ibu saya itu karena adanya hubungan darah? Karena darah mereka mengalir dalam tubuh saya sehingga mereka disebut orang tua?”

Mendengar pertanyaan yang seperti itu disertai emosi saya agak hati-hati menjawab.

“Mas, kalau bisa cerita, sebenarnya ada apa sehingga bertanya seperti itu?” tanya saya.
 
“Romo, saya sekarang ini sedang jengkel dan marah dengan mereka yang menyebut sebagai orang tua saya, mereka menyebut bapak dan ibu saya. Mereka menyebut diri mereka orang tua saya, yang mengalirkan darahnya dalam diri saya hanya untuk merongrong saya. Setiap kali mereka meminta uang, yang untuk berobatlah, untuk memperbaiki rumahlah, untuk biaya sekolah mereka yang disebut adik-adik saya, pokoknya ada banyak alasan untuk meminta uang. Awalnya saya bantu dengan rela ya untuk amal saja, tetapi kok ke sini menjadi semakin sering dan seolah saya harus bertanggung jawab atas kehidupan mereka dengan alasan mereka orang tua saya dan adik-adik saya,” orang muda itu bicara dengan penuh emosi.

“Mas, sesungguhnya mereka ini siapa?” tanya saya.
 
“Romo, mereka sesungguhnya adalah orang tua kandung saya. Menurut orang tua angkat saya, waktu saya masih kecil, waktu itu saya masih bayi, saya dijual oleh orang tua saya. Benar-benar dijual romo, dan “dibeli” oleh orang tua angkat saya. Dulu mereka tinggal bersebelahan dengan orang tua angkat saya. Mereka dulu hidup berkecukupan tetapi karena mereka hobby berjudi, sehingga semua habis termasuk usahanya. Dalam situasi itu saya dijual untuk menutupi hutang judi mereka.
 
Saya baru tahu setelah saya dewasa romo. Setelah saya dewasa mereka datang ke rumah dan mengatakan bahwa mereka orang tua kandung saya dan atas nama itu menuntut saya untuk bertanggung jawab atas kehidupan mereka.
 
Romo, menurut saya mereka bukan orang tua saya, benar mereka yang menjadikan saya ada di dunia ini, tetapi mereka bukan orang yang pantas saya sebut sebagai orang tua. Mereka tidak pernah memberikan kasih sayang, tidak pernah mendampingi dan mendidik dalam tumbuh kembang saya. Bagi saya yang pantas disebut orang tua adalah orang tua angkat saya, karena mereka yang mencintai saya, mereka yang mendampingi dan mendidik saya sehingga menjadi orang,” anak muda itu menjelaskan.
 
“Romo, kalau mereka meminta bantuan, saya ikhlas, tetapi jangan menuntut dengan mengatasnamakan orang tua,” imbuhnya.
 
Sebuah pengalaman luka yang amat dalam. Bagi saya pribadi apa yang dikatakan anak muda itu ada benarnya bahwa mereka yang disebut orang tua bukan hanya karena hubungan darah, tetapi lebih dari itu adalah mereka yang mencintai, mendampingi dan mendidik.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Matius, Yesus menekankan hubungan saudara bukan pertama-tama karena hubungan darah tetapi soal melaksanakan sabda Allah. “Ini ibu-Ku, inilah saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surge, dialah saudara-Ku, dialah saudari-Ku, dialah ibu-Ku.”
 
Apakah pantas disebut sebagai saudara Tuhan?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia.

Renungan Harian: 19 Juli 2021

Renungan Harian
Senin, 19 Juli 2021

Bacaan I: Kel. 14: 5-18
Injil: Mat. 12: 38-42

T a n d a

Dalam pertemuan Komisi Kitab Suci Nasional yang membahas bahan Bulan Kitab Suci Nasional, pada saat sesi tanya jawab ada dua pertanyaan yang menarik bagi saya.
Satu orang bertanya: “Apakah pandemi virus covid 19 ini merupakan tanda akhir zaman?”

Sedang seorang lain bertanya: “Apakah virus covid 19 ini berasal dari Tuhan atau dari manusia?”

Pada saat itu ketika mendengar pertanyaan itu, saya merasa ini pertanyaan lucu, dan apakah penting ditanyakan pada saat pertemuan itu.
 
Ketika saya menimbang-nimbang  kedua pertanyaan itu, saya merasakan mungkin kedua saudara yang bertanya  mewakili sekian banyak orang yang mempunyai pertanyaan yang sama. Memang mungkin benar tidak penting dan tidak nyambung pada saat itu tetapi itu pertanyaan itu mewakili kegundahan banyak orang. Banyak orang dalam situasi sekarang ini sungguh-sungguh merasakan penderitaan yang cukup dalam. Orang berduka cita karena kehilangan orang-orang yang dicintainya; orang cemas dan khawatir karena dirinya atau anggota keluarganya sedang sakit terpapar covid 19; orang resah dan gundah karena tidak bisa mencari penghidupan. Dalam situasi seperti itu orang bertanya untuk mendapatkan penjelasan yang menentramkan dan orang mencari tanda yang membuat dirinya tahu dan yakin.
 
Kiranya tidak ada seorang pun dapat memberikan jawaban dan tanda. Dan kiranya juga tidak perlu sibuk bertanya dan mencari jawab. Sibuk bertanya dan mencari tanda pasti tidak akan mengubah situasi menjadi lebih baik. Sibuk mencari tanda hanya akan menghantar pada penolakan atas situasi ini terus menerus.
 
Dengan kita menerima situasi dan kenyataan yang ada, maka tanda itu akan ditemukan dengan sendirinya. Tanda itu adalah harapan. Harapan menjadi tanda yang pasti dan jelas bahwa situasi ini tidak menjadi akhir bagi diriku, meski aku harus mengalami begitu banyak kesulitan dan penderitaan. Harapan menjadikan aku tetap ada dan berani untuk berjuang. Karena dalam harapan aku menemukan Tuhan yang selalu hadir dan terlibat dalam hidupku.
 
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam injil Matius, Yesus mengkritik  ahli Taurat dan orang Farisi yang meminta tanda bahwa Yesus sungguh-sungguh datang dari Allah, padahal mereka selalu melihat dan mengalami kuasa Yesus. Penolakan dan ketertutupan diri menjadikan mereka tidak dapat melihat dan merasakan tanda-tanda yang sudah ada. “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus.”
 
Bagaimana dengan aku? Adakah aku dapat melihat dan mengalami tanda-tanda kehadiran Allah dalam hidupku?
 
Iwan Roes RD.

Anda juga bisa membaca Renungan Harian melalui akun Instagram CLC Indonesia. Silakan kunjungi dan follow Instagram CLC Indonesia.